PAI : MENJADI ORANG BAIK
"Menjadi Orang baik di jaman sekarang harus nekad" Itulah pernyataan seorang Pakar Pendidikan Islam Prof.Ahmad Tafsir dalam salah sebuah orasi ilmiahnya. Separah itukah negara Indonesia tercinta ini?
Apa tidak dikatakan nekad kalau seorang siswa berniat lulus Ujian Nasional tanpa menyontek atau dibantu Tim sukses? Atau seorang sarjana yang ingin lulus saringan Pegawai Negeri ikut testing tanpa amunisi D3 (dulur, duit, dan deukeut) ? Berbagai fenomena di masyarakat sekarang yang lebih bersifat pragmatis-hedonistis, sejak kalangan bawah yang ingin mencari jalan pintas, kalangan menengah yang berusaha keatas tanpa mempedulikan agama, dan kalangan atas atau elite yang berusaha mempertahankan status quo walaupun berdiri diatas penderitaan rakyat.
Lebih tragis lagi oknum para pemimpin atau penegak hukum yang seharusnya menjadi suri tauladan yang mengayomi masyarakat, malah memberikan contoh tidak baik bahkan terjerat hukum. Ironisnya berbagai kelakuan menyimpang ini disuguhkan dan sengaja ditayangkan di televisi yang mudah ditonton oleh setiap masyarakat, termasuk anak-anak yang masih mencari jatidiri.
Apa yang salah dalam Sistem Pendidikan Kita? Salah satu penyebabnya meminjam istilah Said Aqil Siraj bahwa pendidikan dewasa ini terlihat lebih mengupayakan peningkatan potensi intelegensia manusia. IQ telah menjadi sebuah "patok absolut" dalam melihat tingkat progresivitas kedirian manusia. Manusia dituntut mengasah ketajaman intelektualnya demi kemampuan mengoperasikan mekanisme alam yang menurut Jurgen Habermas, menghunjamnya hegemoni ratio instrumentalis. Produk dari instrumentalisasi intelek ini adalah terbangunnya manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri, atau dalam istilah Herbert Marcuse, one dimensional men. ( Said Aqil Siraj,2002:1). Demikianlah gambaran realitas pendidikan sekarang ini, termasuk Pendidikan Agama Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah dikejar-kejar KKM (Kreteria Ketuntasan Minimum) tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya yang dimiliki setiap manusia.
Seharusnya menurut M. Athiyah al-Abrasyi (1970: 1-2) maksud dan tujuan pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan jujur.Sehingga semakin bertambah ilmu seseorang, maka semakin bertambah pula kedekatannya kepada Allah.
Lebih khusus lagi, mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum, merupakan mata pelajaran wajib yang diharapkan dapat membekali para siswa di bidang ruhani dan mental mereka, sehingga dapat membiasakan diri untuk berakhlakul karimah dalam kehidupannya sehari-hari. Ini sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No: 20 Tahun 2009 pasal 3, yang menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta tanggung jawab.
Sangat mendesak untuk reorientasi kembali pembelajaran PAI di sekolah-sekolah umum, dalam arti pendidikan yang seimbang antara aspek jasmani (eksoterik) dan rohani (esoterik) manusia, antara aspek Tauhid, Fiqh, dan Tasawwuf. Takkala seseorang melaksanakan shalat wajib yang lima kali misalnya, bukan sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban melainkan didasari keimanan kepada Allah dan penuh khusyu dalam melaksanakannya. Sehingga shalatnya mampu melahirkan akhlakul-karimah, yaitu mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Keseimbangan merupakan prinsip hidup dan akhlak seorang muslim, dimana akhlak yang kokoh merupakan cerminan iman yang kuat dan menjadikan pemantapan aqidah dan kepatuhan menjalankan syariat bermakna. Sebaliknya dengan tidak memiliki akhlak, menjadi sia-sialah kemantapan aqidah dan kepatuhan menjalankan syariat. Demikian juga menjadi tidak sesuai dengan jadi diri seorang muslim apabila memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, namun tidak ditopang kemantapan aqidah dan kepatuhan menjalankan syariat. Orang yang hanya memiliki akhlak baik kepada sesama manusia, tetapi tidak memiliki aqidah yang benar dan tidak menjalankan syariat Islam maka tidak sempurna akhlaknya.Ia hanya berakhlak mulia kepada sesama tetapi tidak berakhlak mulia kepada Allah. Manusia seperti ini terhormat di dunia tetapi hina di akherat, sukses di di dunia tetapi gagal dan celaka di akherat.
Pembelajaran PAI di sekolah bukan sekedar hanya menjalankan perintah kurikulum dan mengejar nilai raport, melainkan bagaimana mendidik, membimbing, dan membiasakan berbagai kewajiban syariat dan akhlakul karimah. Inilah hakekat pembelajaran karakter yang diperlukan Bangsa Indonesia, khususnya umat Islam sekarang ini dalam mengatasi dekadensi moral yang sudah menglobal dan penuh kekacauan serta ketidakpastian.
Kalau ingin anak-anak didik kita berkarakter, maka seharusnya para pendidiknyapun berkarakter dan pendidikan didesain untuk memanusiakan manusia. Lalu berilah mereka motivasi dan teladan dalam kesehariannya, bahkan dibiasakan dengan berbagai akhlak baik, diberi penghargaan serta sekali-kali saja dihukum jika diperlukan. Jangan terlalu sering dihukum tanpa ada motivasi dan teladan dari orang dewasanya.
Mari berusaha menjadi teladan baik bagi para anak didik, berilah mereka motivasi dan membiasakan akhlak yang baik sesulit apapun lingkungan pendidikan yang cendrung tidak kondusif bagi pendidikan. Ada hadits Nabi saw yang artinya: " Pasti akan tetap ada segolongan dari umatku yang istiqomah terang-terangan membela kebenaran sampai datang hari kiamat" (Riwayat Hakim). Inginkah kita termasuk golongan ini?
Comments
Post a Comment