Tradisi Munggahan di Pontren Suryalaya
Istilah Munggahan mulanya dikenal hanya di Tatar Sunda, dan sekarang istilah ini sudah me-nasional. Munggah secara bahasa berasal dari kata unggah yang memiliki arti manjat atau memasuki tempat yang agak tinggi. Kata unggah dalam kamus Basa Sunda berarti kecap pagawean nincak ti handap ka nu leuwih luhur, naek ka tempat nu leuwih luhur, artinya kata kerja beranjak dari bawah ke yang lebih atas, naik ke tempat yang lebih atas
Secara istilah adalah sebuah tradisi turun temurun yang dilaksanakan oleh kaum muslimin dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, khususnya di tatar sunda, Jawa Barat. Dan sekarang tradisi ini dirayakan hampir di setiap daerah di Indonesia, bahkan di beberapa daerah memiliki keunikan dan keanekaragaman masing-masing dalam melaksanakan tradisi Munggahan ini. Ada yang mudik ke kampung untuk sahur pertama dan tarawih bersama dengan keluarga, makan bersama (botram), ziarah ke makam para Wali atrau orang-tua, dan membersihkannya, ada yang mandi bersama agar bersih badan sebelum berpuasa, dan lainnya.
Mengapa tradisi ini disebut Munggahan? Tradisi tersebut merupakan aktualisasi dari rasa hormat dan bahagia kaum muslimin dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang penuh barakah, keagungan, dan berbagai keutamaan dibanding dengan bulan-bulan lainnya. Ini didasari dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, dimana Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa agung, lagi penuh berkah. Bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik dari 1000 bulan”. Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, “Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu perbuatan kebajikan (sunnah), ia akan mendapatkan pahala seperti kalau ia melakukan perbuatan wajib pada bulan lain. Barang siapa melaksanakan suatu kewajiban pada bulan (Ramadhan) itu, ia akan mendapatkan pahala seperti kalau ia mengerjakan 70 perbuatan wajib pada bulan yang lain”.
“Munggah” dalam menghadapi bulan puasa, yaitu unggah kana bulan nu punjul darajatna, artinya naik ke bulan yang luhur derajatnya,yaitu dari bulan Sya’ban ke Ramadhan. Ibarat kalau kita ingin naik (unggah) pesawat terbang untuk pergi merantau jauh mencari berbagai keutamaan, maka perlu berbagai persiapan, baik secara lahiriah atau batiniah, baik secara materi maupun non materi agar berhasil dan menjadi orang-orang yang beruntung dan mendapat kemenangan untuk kembali ke fitrah ( ‘aidin wal-faizin ). Maka berbagai persiapan perlu disiapkan: sejak membersihkan jasmani dengan mandi, maupun rohani dengan bertaubat dan saling memaafkan, kemampuan menahan diri dari berbagai hal yang bisa membatalkan puasa dan menghilangkan keutamaannya, dan mempersiapkan mentalnya agar pelaksanaan ibadah selama bulan Ramadhan terlaksana dengan baik dan meraih berbagai keutamaan diatas.
Munggahan di Pontren Suryalaya
Tradisi Munggahan di Pontren Suryalaya biasanya dilaksanakan beberapa hari menjelang bulan Ramadhan. Pangersa Abah Anom melaksanakan momentum ini dengan berbagai macam kegiatan seperti acara makan bersama-sama (botram) dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, tetangga, dan para ikhwan TQN yang sengaja datang ke Pontren Suryalaya. Acara dimulai dengan berziarah ke makam Pangersa Abah Sepuh, lalu ngaras (silaturahmi) para ikhwan TQN ke Guru Mursyid Pangersa Abah Anom, dan sekitar pukul.10.00 pagi biasanya Pangersa Abah Anom mengajak keluarga besarnya dan para ikhwan, termasuk seluruh guru, dosen, dan para pembantunya untuk makan bersama (botram) di tempat tertentu sekitar Pesantren. Kadang di Bagjan, di Situ, atau di Kampus. Kalau munggahannya di Situ atau di Kampus yang ada kolamnya, Pangersapun menyuruh yang hadir untuk ikut mincing bersama setelah acara tawasulan dan makan bersama. Begitu masuk waktu Dhuhur, bersama-sama menuju masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Banyak sekali manfaat yang didapat dari tradisi Munggahan ini, antara lain: mampu mempererat silaturahmi dan saling memaafkan baik dengan keluarga, teman, sahabat, kerabat, saudara, tetangga bahkan sesama ikhwan TQN. Selain itu, yang lebih penting merupakan perwujudan rasa syukur kehadirat Allah atas berbagai limpahan nikmat dalam hidup ini. Sehingga kita bisa saling berbagi antara sesame, tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin atau antara bos dengan para pembantunya. Sehingga kalau kita renungkan secara mendalam akan mempererat rasa kolektifitas antar ikhwan hingga dapat mengeluarkan diri dari kecemburuan sosial, sebagai persiapan menuju Ramadhan agar bebas dari berbagai perilaku tidak baik, seperti: sombong, pelit, jail, syirik dan fitnah yang merupakan representasi anomali kemanusiaan dalam diri kita. Ini sebagaimana diamanatkan dalam Tanbih Pangersa Abah Sepuh sebagai perwujudan akhlak mulia, atau manusia Cageur Bageur, dengan membuktikan sikap dan prilaku:
“Kahiji : ka saluhureun ulah nanduk boh saluhureun harkatna atawa darajatna, boh dina kabogana estu kudu luyu akur jeung batur-batur.
Kadua : ka sasama tegesna ka papantaran urang dina sagala-galana ulah rek pasea, sabalikna kudu rendah babarengan dina enggoning ngalakukeun parentah agama jeung nagara, ulah jadi pacogregan pacengkadan, bisi kaasup kana pangandika :Adzabun alim”, anu hartina jadi pilara salawasna, tidunya nepi ka akherat (badan payah ati susuah).
Katilu : Ka sahandapeun ulah hayang ngahina atawa nyieun deleka culika, hentau daek ngajenan, sabalikna kudu heman, kalawan karidloan malar senang rasana gumbira atina, ulah sina ngarasa reuwas jeung giras, rasa kapapas mamaras, anggur ditungtun dituyun ku nasehatr anu lemah lembut, nu matak nimbulkeun nurut, bisa napak dina jalan kahadean.
Kaopat : Kanu pakir jeung miskin kudu welas asih someah, tur budi beresih, sarta daek mere maweh, ngayatakeun hate urang sareh. Geura rasakeun awak urang sorangan kacida ngerikna ati ari dina kakurangan. Anu matak ulah rek kajongjonan ngeunah dewek henteu lian, da pakir miskin teh lain kahayangna sorangan, estu kadaring Pangeran”.
Maka para ikhwan TQN Suryalaya jauh-jauh hari sudah ditempa mentalnya sebagaimana dicontohkan oleh Guru Mursyid, yaitu sejak bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Di bulan Rajab, para ikhwan TQN disunatkan untuk melaksanakan puasa sunat, dan shalat sunat Rajab, baik di awal bulan, tengah bulan, awal jumat maupun akhir bulan. Pada bulan Sya’ban, guru kita memberi contoh untuk melaksanakan shalat Nisfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat, sehingga ketika memasuki Ramadhan mental kita sudah siap untuk melaksanakan ibadah sebulan penuh. Sehingga mampu menjadi orang-orang yang kembali kepada fitrah yang mempunyai akhlak mulia yang mampu “Logor dina Liang Jarum Ulah sereg di Buana”. Ini semua sudah dicontohkan langsung oleh Pangersa Guru Mursyid yang tidak segan-segan mengajak siapapun makan bersama dalam satu meja, bahkan mampu mengasihi orang yang membencinya sekalipun.(Pernah dimuat di Sinthoris no.1)
Comments
Post a Comment