Hijrah Di Era Globalisasi : (Menghijrahkan Orientasi Dalam Mendidik Siswa)



            Hijrah berasal dari Bahasa Arab “ Haajara- yuhaajiru- hijratan “ yang berarti pindah, pindah dari suatu tempat ke tempat lain sebagai upaya strategi atau memaksimalkan potensi keadaan agar lebih kondusif dan lebih nyaman dalam melakukan suatu aktivitas. Dalam konteks sejarah hijrah ini pernah dilakukan oleh Baginda Rasulullah saw dari Mekkah menuju ke Medinah sebagai strategi dalam menyusun kekuatan kaum muslimin yang tertindas di Mekkah ketika itu. Realitas membuktikan dalam jangka waktu tidak terlalu lama sekitar 10 tahun kaum muslimin mampu kembali memasuki Mekkah dengan penuh kemenangan yang dikenal dalam sejarah sebagai “ Fathu Mekkah “.
Bagaimana dengan Hijrah dalam konteks kekinian, masihkah relevan atau tidak? Ini pertanyaan mendasar dalam menafsirkan berbagai peristiwa sejarah, khususnya berkenaan dengan peristiwa yang berhubungan erat dengan agama Islam yang diklaim sebagai agama pembawa rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Salah satu ciri khas al-Quran sebagai kitab sucinya agama Islam adalah memuat berbagai kisah-kisah umat terdahulu dengan tujuan agar umat-umat setelahnya mampu mengambil pelajaran-pelajaran demi kebaikan hidupnya.    
Dalam terminologi al- Qur`an, pengertian Hijrah ini mengandung dua arti: Pertama hijrah dalam arti fi sabilillah, yaitu hijrah di jalan Allah, dan Kedua adalah hijrah  ilallah, yaitu hijrah menuju Allah. Hijrah fi sabilillah berkenaan dengan sarana, mencari tempat  untuk menegakkan kalimat Allah atau ingin membebaskan diri dari berbagai kedzaliman dan ketidakadilan disatu tempat menuju tempat lain yang bisa memberikan kelapangan dalam menjalankan Agama Allah. Selanjutnya pengertian hijrah dalam terminologi kedua adalah hijrah kepada Allah, yakni meninggalkan sesuatu selain Allah, menuju sesuatu yang diridhai Allah. Dalam al-Quran Allah telah berfirman yang artinya: “ Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “.( QS.An-Nisa 100 ). Keterangan diatas dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw.:“ Sesungguhnya semua amal bergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya menuju Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya (artinya dia akan sampai kepada Allah dan Rasulnya). Barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia atau karena seorang perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnnya kepada yang diniatinya ”.
Era informasi global sekarang ini menurut Ahmad Sanusi mengakibatkan perubahan yang sangat cepat dalam berbagai aspek dengan terus menerus, sehingga telah memasuki daerah complexity dan chaos. Kerumitan (complexity), kesemrawutan (chaos), dan gejolak (turbulences) telah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia (Achmad Sanusi : 2008:1). Tidak terkecuali di Indonesia telah terjadi berbagai fenomena di masyarakat sekarang yang lebih bersifat pragmatis-hedonistis; sejak kalangan bawah yang ingin mencari jalan pintas, kalangan menengah yang berusaha keatas tanpa mempedulikan agama, dan kalangan atas atau elite yang berusaha mempertahankan status quo walaupun berdiri diatas penderitaan rakyat. Lebih tragis lagi oknum para pemimpin atau penegak hukum yang seharusnya menjadi suri tauladan yang mengayomi masyarakat, malah memberikan contoh tidak baik bahkan terjerat hukum. Akhirnya berbagai krisis bertubi-tubi menghantam Indonesia.
Fenomena diatas telah diisyaratkan 14 abad yang lalu oleh Baginda Rasulullah dalam sabdanya: “Apabila akhir zaman semakin dekat maka banyak orang yang berpakaian jubah, dominasi perdagangan, harta kekayaan melimpah, para pemilik modal diagungkan, kemesuman merajalela, kanak-kanak dijadikan pemimpin, dominasi perempuan, kelaliman penguasa, manipulasi takaran dan timbangan, orang lebih suka memelihara anjing piaraannya daripada anaknya sendiri, tidak menghormati orang yang lebih tua, tidak menyayangi yang kecil, membiaknya anak-anak zina, sampai-sampai orang bisa menyetubuhi perempuan di tengah jalan, maka orang yang paling baik di zaman itu hanya bisa mengatakan: tolonglah kalian menyingkir dari jalan, mereka berpakaian kulit domba tetapi berhati serigala, orang paling ideal di zaman itu adalah para penjilat.” (HR, Thabrani)
Realitasnya sekarang, fenomena sosial yang dikhawatirkan Rasulullah SAW tersebut telah bermunculan di tengah-tengah bangsa yang sedang dirundung krisis multi dimensi ini. Kita dapat menyaksikan lahirnya manusia-manusia yang secara dhahir berpenampilan rapih, bersih, menarik, perlente, dengan gaya dan isi pembicaraan yang memukau seolah ingin menggambarkan tingginya kemampuan intelektual mereka dan keberpihakan kepada kebenaran dan keadilan. Padahal, kondisi sebenarnya adalah mereka membenci dan memusuhi tegaknya kebenaran dan keadilan dalam kehidupan bahkan sekedar untuk dirinya sendiri. Celakanya, tampilan diri yang dapat menutupi dan mengelabui pandangan orang tentang kondisi bathin yang sesungguhnya sehingga menjalani hidup penuh dengan kepura-puraan telah menjadi realitas sosial yang membudaya. Akibatnya, terjadi pergeseran norma-norma sosial dan budaya yang pada akhirnya membiakkan berbagai perilaku menyimpang yang berpengaruh besar terhadap kebahagiaan dan kenyamanan hidup bermasyarakat.
Menurut Dr Ali Abdul Halim Mahmud setidaknya ada 2  pilar pokok yang harus dibangun ketika kita ingin membangun (kembali) sebuah peradaban rabbani untuk mencapai kehidupan masyarakat yang diridhai Allah. Pertama adalah pilar tarbawi (pembinaan dan pendidikan), berupa pola belajar-mengajar, dengan ragam perangkatnya dengan tujuan untuk menyempurnakan potensi pribadi. Kemudian yang kedua, yaitu pilar tanzhimi (institusional) berupa pembangunan institusi internal masyarakat yang mengatur kode etik dalam kehidupan bermasyarakat, dan institusi eksternal yang mengatur kekuasaan dan hubungan antarbangsa.
Penulis berhipotesis pasti ada yang salah dengan bangsa ini berhubungan dengan kedua pilar diatas berkenaan membangun peradaban bangsanya, khususnya dalam penyelenggaraan  pendidikan yang menjadi pilar budaya dan peradaban bangsa Indonesia sekarang. Masalah yang fundamental dalam pendidikan sekarang adalah seperti dalam kaca mata tafsiran Said Aqil Siraj bahwa  pendidikan dewasa ini terlihat lebih mengupayakan peningkatan potensi intelegensia manusia. IQ telah menjadi sebuah "patok absolut" dalam melihat tingkat progresivitas kedirian manusia. Manusia dituntut mengasah ketajaman intelektualnya demi kemampuan mengoperasikan mekanisme alam yang menurut Jurgen Habermas, menghunjamnya hegemoni ratio instrumentalis. Produk dari instrumentalisasi intelek ini adalah terbangunnya manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri, atau dalam istilah Herbert Marcuse, one dimensional men. ( Said Aqil Siraj,2002:1). Pendidikan yang dikembangkan sekarang ini masih terlalu menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak, dan jarang sekali pendidikan tentang kecerdasan emosi dan spiritual yang mengajarkan integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, keadilan, kebijaksanaan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi. Akibatnya, berkecambahnya krisis dan degradasi dalam ranah moral, sumber daya manusia dan penyempitan cakrawala berpikir yang berakibat munculnya militansi sempit atau penolakan terhadap keharmonian hidup dalam keanekaragaman sebagai konsekwensi manusia global sekarang ini.
             Dengan landasan semangat hijarah diatas seharusnya kita sebagai kaum muslimin yang dituntut menjadi rahmatan lil a’lamin berusaha meninggalkan berbagai keburukan dan kekurangan dalam melaksanakan pendidikan anak bangsanya serta berusaha agar orientasi dan tujuan utamanya adalah karena Allah dan Rasul-Nya. Dalam arti bahwa pendidikan nasional harus berusaha menciptakan manusia-manusia yang mampu mengabdikan diri dan beribadah kepada Allah. Selain itu, sebagai pendidik, para pejabat yang mempunyai wewenang dalam kebijakan pendidikan, para wakil rakyat yang berhak menentukan peraturan dan landasan hukum perlu didukung dengan aspek kedua yaitu hijrah Ilallah, hijrah kepada Allah dengan meninggalkan segala sesuatu selain Allah. Dalam arti mereka semua harus niat karena Allah dan mendapat kedudukan dan jabatan tersebut semata-mata amanat dari Allah yang wajib dipertanggung-jawabkan kelak. Sebagaimana selalu dibaca dalam doa iftitah oleh mayoritas umat Islam di Indonesia: “ Inna sholatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamatii lillahi robbil ‘alamin”, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah semata-mata dipersembahkan kepada Allah.
Kelihatannya dalam aspek hijrah kedua yaitu hijarah kepada Allah inilah Bangsa Indonesia perlu dan harus belajar kepada  para Ulama dengan pendidikan pesantrennya dan para sufi dengan Tasawufnya. Para sufi telah mampu berhijrah dari diri yang materi ini menuju Allah yang Maha mutlak, tempat kembali semua mahluk. Setiap manusia menurut para sufi harus belajar meninggalkan ke”diri”annya, ke”ego”annya, dan ke”aku”annya menuju apa saja yang diinginkan Allah dan Rasulnya. Tasawuf kata Said Aqil Siraj merupakan metodologi yang membimbing manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total. Interaksi kaum sufi dalam semua kondisi adalah dalam harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal. Bertasawuf berarti pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang sebenarnya adalah belajar untuk tetap mengikuti tuntutan agama, saat berhadapan dengan musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kekayaan, kemiskinan, pengendalian diri, dan pengembangan potensi diri. Bukankah lahirnya sufi-sufi besar seperti Rabi'ah Adawiah, Al-Ghazali, Sari al-Saqothi atau Asad al-Muhasabi telah memberi teladan, pendidikan yang baik, yakni berproses menuju perbaikan dan pengembangan diri dan pribadi. (Said Aqil Siraj,2002 ).
Dalam Tasawuf proses penyadaran diri dalam arti menanamkan kesadaran akan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya diistilahkan dengan tazkiyatun-nafsi atau pembersihan jiwa dari penyakit-penyakit atau kotoran hati. Para sufi berpendapat bahwa lupanya seorang hamba kepada Tuhannya diakibatkan hamba tersebut diselimuti oleh berbagai penyakit atau kotoran hati. Objek penyakit atau kotoran hati yang harus dibersihkan itu antaranya: kikir (al-bukhl),  ambisius (al-hirsh), iri hati (al-hasad), bodoh (al-jahl), hedonistik (al-syahwat), besar kepala (al-kibr), suka pamer (al-riya), dan lainnya. Metode pembersihannya adalah dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak ibadah kepada-Nya, dan mengisi sebanyak mungkin alam kesadaran manusia dengan nama Allah (dzikrullah), serta menjauhkan diri dari dorongan dan kecendrungan jiwa rendah, yaitu nafsu ammarah dan nafsu lawwamah dalam kehidupan hariannya sebagai upaya pembersihan jiwa agar mampu mengenal diri dan Tuhannya.             Kemampuan mengenal diri disini tidak sebatas mengetahui berbagai potensi diri seperti the self determining being, sebagaimana pandangan Eksistensial-Humanistik. Karena boleh jadi pengetahuan semacam itu malah justru mendorongnya untuk mengaktualisasikan potensinya itu di luar batas kewajaran. Maksud mengenal diri disini adalah dalam konteks keilahian dan dalam koredor penyerahan diri secara total hanya kepada Allah semata. Demikian juga mengenal Tuhan (ma’rifat), tidak sebatas pengakuan secara lisan saja tanpa disertai tindakan nyata (tauhid rububiyyah). Dalam perspektif sufi, tauhid semacam ini belum menghasilkan nilai plus, kecuali bila sudah disertai dengan kepatuhan dan ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta penyerahan diri secara total hanya kepada Allah semata (tauhid uluhiyyah).
Ahirnya, dengan semangat bulan hijrah ini, marilah kita niat hijrahkan hati kita menuju Allah dan Rasulullah, dengan selalu memperhatikan dan mendahulukan apa yang  diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Kita hadirkan Allah dalam setiap gerak gerik dan aktivitas, sehingga kita tetap dalam kontrol dan bimbingan-Nya serta mampu mensiasati berbagai problematika yang dihadapi bangsa ini. Amin ya robbal ‘alamin.

Comments

Popular posts from this blog

HIKMAH TERSEMBUNYI DALAM TANBIH

Tradisi Munggahan di Pontren Suryalaya