IMPLEMENTASI NILAI-NILAI SUFISTIK DALAM KURIKULUM DI IAILM SEBAGAI UPAYA STRATEGIS DI MASA MENDATANG
Abstract
Curriculum is the sum total of school’s
efforts to influence learning and also it is used to include all the
experiences of children for which the school accepts responsibility.It denotes the result of efforts on the part of
the adults of the community, state, and
the nation to bring to the children the finest, most wholesome influences that
exist in the culture. As moslem, we have the responsibility to give our young
generation the best education and save them from the bad culture. One of our
effort is the implementation of the sufistic values in our curriculum, to give
them the best influences of sufi’s education, cause of our belief that sufi’s
education is the best actual learning experiences and the best potential
learning experiences for them.
Pendahuluan dan Pengantar
Ada
3 alasan pokok mengapa penulis terinspirasi memberikan judul diatas, dimana
seharusnya ditambah dengan (Salah satu
solusi alternative menciptakan SDM berakhlakul
karimah
di era Global) yaitu :
1.
Berbagai fenomena di masyarakat sekarang yang
lebih bersifat pragmatis-hedonistis, sejak kalangan bawah yang ingin mencari
jalan pintas, kalangan menengah yang berusaha keatas tanpa mempedulikan agama,
dan kalangan atas atau elite yang berusaha mempertahankan status quo walaupun
berdiri diatas penderitaan rakyat. Lebih tragis lagi oknum para pemimpin atau
penegak hukum yang seharusnya menjadi suri tauladan yang mengayomi masyarakat,
malah memberikan contoh tidak baik bahkan terjerat hukum. Akhirnya berbagai
krisis bertubi-tubi menghantam Indonesia. Penulis berhipotesis pasti ada yang
salah dengan pendidikan bangsa ini.Atau meminjam istilah Said Aqil Siraj bahwa pendidikan dewasa ini terlihat
lebih mengupayakan peningkatan potensi intelegensia manusia. IQ telah menjadi
sebuah "patok absolut" dalam melihat tingkat progresivitas kedirian
manusia. Manusia dituntut mengasah ketajaman intelektualnya demi kemampuan
mengoperasikan mekanisme alam yang menurut Jurgen Habermas, menghunjamnya
hegemoni ratio instrumentalis. Produk dari instrumentalisasi intelek ini
adalah terbangunnya manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan
ruang diri, atau dalam istilah Herbert Marcuse, one dimensional men. (
Said Aqil Siraj,2002:1)
2. Sejak penulis pertama niat ”
mesantren” ke PP.Suryalaya tahun 1990
sampai sekarang, ternyata para tamu yang datang kepada Sesepuh Pesantren, yaitu
KH.Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin tidak pernah sepi. Tidak ada hari tanpa tamu
yang datang dengan berbagai keluhan hidup yang dialaminya; sejak masalah rumah
tangga, krisis ekonomi, broken home, politik, berbagai penyakit, sampai mantan
para pejabat yang terkena post power
syndrom. Mereka satu tujuan yaitu mencari solusi problema yang dialaminya
dengan harapan menggapai hidup yang lebih baik lagi. Selama menghadapi berbagai
tamu dengan membawa berbagai persoalan baik yang datang dari Luar Negri maupun
Dalam Negri ada ciri khas atau sikap dan
kepribadian Sesepuh yang terinternalisasi dalam dirinya secara kuat dan tidak
pernah berubah sampai sekarang, yaitu selalu ramah dan menghormati serta
menghargai semua pihak dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
Ternyata sikap dan kepribadian tersebut sangat
diperlukan di era globalisasi sekarang ini, apalagi dalam pendekatan pendidikan
dan komunikasi sosial yang sekarang lebih cendrung multikultur. Maka muncullah
berbagai istilah populer, seperti : Mendidik dengan hati, Manajemen Hati,
memasarkan dengan hati, Total Quality Manajemen, Manajemen Mutu, Blue Ocean
Strategy, dan istilah-istilah lainnya.
3. Mari kita pakai logika terbalik terhadap Metode Inabah KH.Ahmad Shohibulwafa
Tajul Arifin dalam upaya menyembuhkan para korban NAZA. Mengapa mereka yang
hampir hilang daya nalarnya bahkan perasaannya bisa kembali normal? Idealnya
kalau dipakai metode itu bagi peningkatan kualitas akhlak manusia sehat dan tidak pernah kena pengaruh Naza,
pasti hasilnya lebih dahsyat?
Era
informasi global sekarang ini menurut Ahmad Sanusi mengakibatkan perubahan yang
sangat cepat dalam berbagai aspek dengan terus menerus, sehingga telah memasuki
daerah complexity dan chaos. Kerumitan (complexity), kesemrawutan (chaos), dan
gejolak (turbulences) telah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
dunia pendidikan (Achmad Sanusi : 2008:1). Sehingga lembaga-lembaga pendidikan
dan para aktor pendidikan lebih terpacu dan tertantang dalam ikut serta mencari
solusi berbagai masalah kemanusiaan sebagai upaya mempertahankan eksistensi
dirinya di tengah-tengah persaingan yang serba cepat dan tuntutan kompetititif
serta profesional.
Eksistensi
sebuah lembaga pendidikan dan aktor pendidikan dimasa depan ditentukan dengan
kualitas pelayanannya dan keprofesionalannya dalam mencari solusi alternatif
permasalahan kemanusiaan di era global, termasuk menyelesaikan isu-isu global
seperti : global warming, dekadensi moral, masalah lingkungan, komplik antar
negara, dan sebagainya. Suatu lembaga pendidikan akan terus eksis dan
mendapatkan simpati dari masyarakat, jika mampu memberikan salah satu solusi
alternatif yang sangat diharapkan oleh masyarakat. Sebaliknya suatu lembaga
pendidikan yang tidak mempunyai nilai
tambah (added value) di mata masyarakat, secara alami akan semakin
terpinggirkan bahkan terancam hilang di peredaran diakibatkan tidak mempunyai
daya saing. Untuk itu Pemerintah mulai mewajibkan Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan Tinggi dengan mengharuskannya setiap Perguruan Tinggi di Indonesia
untuk diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN). Tidak lain tujuan dari
Penjaminan mutu ini adalah :
1. Memberikan bukti yang kredibel tentang
pernyataan kualitas sehingga stakeholders yakin tentang kualitas manajemen dan
tingkat pencapaian hasil.
2. Perlindungan terhadap mahasiswa dan
kepentingan penyelia pekerjaan.
3. Meyakinkan nilai tambah untuk kualifikasi
mahasiswa.
4. Mengakselerasikan pengakuan nasional/
internasional tentang standar.
5. Sebagai bagian dari akuntabilitas publik
dan rasio terhadap tuntutan masyarakat.
6. Membantu implementasi budaya kualitas,
mendesiminasi ”good Practices” dan sebagai ”benchmarking” untuk peningkatan
kualitas secara keseluruhan (Ajid Thohir.2009:2).
Peranan Perguruan Tinggi Di Masa Depan
Sebagai suatu Institutusi yang berbadan hukum
dan diberi hak untuk menyelenggarakan aktivitas pendidikan, Perguruan Tinggi
memegang peranan sangat esensial bagi masa depan suatu bangsa. Semakin baik
kualitas Perguruan Tinggi yang dimiliki suatu bangsa, maka akan semakin baik
pula kualitas bangsa tersebut di masa mendatang, termasuk dalam memecahkan
berbagai masalah bangsa yang berkaitan dengan isu-isu global. Bagaimana sebaiknya
Perguruan Tinggi bersikap dan berperan
di masa depan dalam upaya membantu mencari solusi masalah-masalah
kemanusiaan di masa datang? Acuan utama dan masih relevan sampai sekarang
adalah Deklarasi UNESCO seperti dikutip
Azyumardi Azra (1) bahwa visi dan aksi Perguruan Tinggi dalam abad 21 adalah
sebagai berikut :
Pertama, tentang misi dan fungsi Perguruan Tinggi, Deklarasi menegaskan
bahwa misi dan nilai pokok Perguruan Tinggi adalah memberikan kontribusi kepada
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan
pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks itu, misi dan fungsi
Perguruan Tinggi secara lebih spesifik adalah: mendidik mahasiswa dan
warganegara untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia, dengan
menawarkan kualifikasi-kualifikasi yang relevan, termasuk pendidikan dan
pelatihan profesional yang mengkombinasikan ilmu pengetahuan dan keahlian
tingkat tinggi melalui mata kuliah-mata kuliah yang terus dirancang, dievaluasi
secara ajeg, dan terus dikembangkan untuk menjawab berbagai kebutuhan
masyarakat dewasa ini dan masa datang.
Kedua, memberikan berbagai kesempatan (espace ouvert) kepada para
peminat untuk memperoleh pendidikan tinggi sepanjang usia. Perguruan Tinggi
memiliki misi dan fungsi memberikan kepada para penuntut ilmu sejumlah pilihan
yang optimal dan fleksibilitas untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem
pendidikan yang ada. Perguruan Tinggi juga harus memberikan kesempatan bagi
pengembangan individu dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewargaan (citizenship)
dan bagi partisipasi aktif dalam masyarakat. Dengan begitu, peserta didik akan
memiliki visi yang mendunia, dan sekaligus mempunyai kapasitas membangun yang
mempribumi (indigenous).
1.Bahkan
Azyumardi Azra menekankan perlunya Paradigma Baru sebagai upaya meningkatkan
eksistensi IAIN (sebelum berubah menjadi sebuah Universitas), dan ini masih
relevan dengan keberadaan PTAIS-PTAIS di daerah yang notabene menginduk kepada
IAIN dulu. Diantara paradigma baru yang sangat mendesak dilaksanakan
adalah mencakup antara lain: peningkatan
kualitas Perguruan Tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan kualitas
manajemen yang telah diperbaiki, di mana otonomi, akuntabilitas dan akreditasi
merupakan komponen-komponen terpenting. Lihat selanjutnya tentang IAIN Di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tingi.
Dalam Artikel Pilihan Ditpertais.net.
Ketiga, memajukan, menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan melalui
riset; dan memberikan keahlian (expertise) yang relevan untuk membantu
masyarakat umum dalam pengembangan budaya, sosial dan ekonomi; mengembangkan
penelitian dalam bidang sain dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan
seni kreatif.
Keempat, membantu untuk memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat,
mengembangkan, dan menyebarkan budaya-budaya historis nasional, regional dan
internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
Kelima, membantu untuk melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial
dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang membentuk dasar
kewargaan yang demokratis (democratic citizenship).
Keenam, memberikan kontribusi kepada pengembangan dan peningkatan
pendidikan pada seluruh jenjangnya, termasuk pelatihan para guru.
Bagian
lain dari “World Declaration of Higher Education” yang perlu dikutip di sini
adalah tentang peran etik, otonomi, tanggungjawab dan fungsi antisipatif
Perguruan Tinggi. Dalam hal ini Perguruan Tinggi berkewajiban:
Pertama, memelihara dan mengembangkan fungsi-fungsi krusialnya melalui
penegakan etik dan keteguhan ilmiah dan intelektual melalui berbagai aktivitasnya.
Kedua, mampu berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik,
kebudayaan dan sosial secara independen dan, dengan kesadaran penuh tentang
tanggungjawabnya; menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat
dalam berefleksi, memahami, dan bertindak.
Ketiga, memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future
oriented) melalui analisis yang berkelanjutan tentang
kecenderungan-kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya
dan politik yang sedang tumbuh; dan sekaligus memberikan fokus bagi prediksi,
peringatan dan pencegahan.
Keempat, menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk
membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara
universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan
solidaritas, seperti disinggung dalam Konstitusi UNESCO.
Kelima, menikmati kebebasan dan otonomi akademis, seperti terlihat dalam
hak-hak dan kewajiban, sementara tetap bertanggungjawab sepenuhnya (fully
responsible) dan accountable kepada masyarakat.
Keenam, memainkan peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab
masalah-masalah yang mempengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa, dan
masyarakat global. (Azyumardi Azra, IAIN Di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi, dalam Artikel Pilihan Ditpertais.net)
Tidak terkecuali dengan Institut
Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM), langsung atau tidak langsung akan
terus bersinggungan dengan percaturan global dan salah satu peran pentingnya
yang akan mencetak para kader bangsa di masa mendatang adalah membantu untuk melindungi dan memperkuat
nilai-nilai sosial dengan menanamkan kepada generasi muda nilai-nilai yang
membentuk dasar kewargaan yang demokratis (democratic citizenship) dan
menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk membela dan secara
aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal, termasuk
perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas. Nilai-nilai ini
pada intinya merupakan saripati dari semangat Ajaran Islam yang mesti menjadi
Rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan maknanya yang selalu membri keselamatan dan
kedamaian sesuai dengan tujuan disyariatkannya oleh Allah swt. Bahkan sebagai
Perguruan Tinggi Islam yang berbasis Pesantren Suryalaya, pergumulan globalnya
sangat terkait erat dengan eksistensi Pesantren Suryalaya sebagai salah satu
Pusat Pengembangan Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) yang memang
merupakan suatu Tarekat produk global yang bersifat global. Penulis
berkeyakinan bahwa solusi utama yang diperlukan manusia global sekarang ini
adalah pendidikan yang berbasis tasawuf . Tasawuf kata Said Aqil Siraj merupakan metodologi yang membimbing manusia ke
dalam harmoni dan keseimbangan total. Interaksi kaum sufi dalam semua kondisi
adalah dalam harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya
tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal. Bertasawuf
berarti pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang sebenarnya
adalah belajar untuk tetap mengikuti tuntutan agama, saat berhadapan dengan
musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kekayaan, kemiskinan,
pengendalian diri, dan pengembangan potensi diri. Bukankah lahirnya sufi-sufi
besar seperti Rabi'ah Adawiah, Al-Ghazali, Sari al-Saqothi atau Asad
al-Muhasabi telah memberi teladan, pendidikan yang baik, yakni berproses menuju
perbaikan dan pengembangan diri dan pribadi. (Said Aqil Siraj,2002 ) (2)
Untuk itu dari segi historis IAILM mempunyai nilai tambah
dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Islam sejenis yang berbasis Pesantren
lokal atau nasional dari hubungannya secara global dan kefamiliarannya di mata
masyarakat muslim dunia. Dengan
menyandang Perguruan Tinggi berbasis Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah yang sudah
mempunyai brand image dan trade mark di kalangan muslim sedunia, mampu menjadi
garansi dan mampu dijual dalam mempertahankan dan meningkatkan eksistensinya di
tengah-tengah persaingan dengan perguruan Tinggi Islam sejenis baik tingkat nasional
maupun internasional. Masalahnya adalah sejauhmana mengimplementasikannya dalam
proses pendidikan di IAILM agar mampu mempunyai peranan serta kiprah dalam memberikan andil pemecahan masalah-
masalah umat manusia pada umumnya dan masyarakat muslim pada khususnya,
sehingga terasa oleh masyarakat dan masyarakat sangat merasa membutuhkan
kehadirannya.
Upaya
sangat mendesak dan sesuai dengan tujuan
didirikannya IAILM oleh Pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya adalah bagaimana
menjaga, melestarikan, bahkan mengembangkan ciri khas atau trade mark yang
telah dimiliki Pondok Pesantren Suryalaya tersebut (maksudnya TQN) dalam
tradisi perguruan tinggi agar tetap eksis dan mempunyai nilai lebih dalam arti
unggul dan beda di tengah-tengah
kompetisi dengan Perguruan Tinggi lainnya.
Kurikulum
dan Filsafat Pendidikan TQN
Perlu
dijelaskan terlebih dahulu pengertian kurikulum dan maksud filsafat pendidikan
TQN, sebagai gambaran awal dan dalam rangka menyamakan persepsi maksud dan
tujuan tulisan ini.
_____________________________________________________________________
2. Said Aqil Siraj menegaskan bahwa pendidikan yang dikembangkan sekarang ini
masih terlalu menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak, dan jarang
sekali pendidikan tentang kecerdasan emosi dan spiritual yang mengajarkan
integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, keadilan,
kebijaksanaan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi. Akibatnya,
berkecambahnya krisis dan degradasi dalam ranah moral, sumber daya manusia dan
penyempitan cakrawala berpikir yang berakibat munculnya militansi sempit atau
penolakan terhadap pluralitas.Dalam tasawuf, antara IQ (dzaka al-dzihni),
EQ (tashfiatul qolbi) dan SQ (tazkiah al-nafsi) dikembangkan
secara harmonis, sehingga menghasilkan daya guna luar biasa baik horizontal
maupun vertikal.Selengkapnya Said Aqil Siraj, Pendidikan Sufistik di Era
Multikultur, Kompas cyber
media,21 juni 2002.
Menurut
J.Galen Saylor dan William M.Alexander dalam “Curriculum Planning For Better
Teaching and Learning” yang dikutip S. Nasution (1988:10) bahwa arti kurikulum adalah: “ The Curriculum is the
sum total of school’s efforts to influence learning, whether in the classrom,
on the playground, or out of school”, jadi segala usaha sekolah untuk
mempengaruhi anak itu belajar, apakah dalam ruangan kelas, di halaman sekolah,
atau di luar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi segala pengalaman
yang disajikan oleh sekolah agar anak mencapai tujuan yang ditentukan oleh
guru. Sedangkan maksud Filsafat pendidikan secara sederhana adalah sistem nilai-nilai atau suatu
pandangan hidup yang menjadi tujuan proses suatu pendidikan . (S.Nasution.1988: 30)
Kalau Arief Furqan membuat ibarat seorang yang ingin membangun sebuah rumah, maka kurikulum
adalah 'blue print' (gambar cetak biru) nya. Blue print ini harus jelas bagi
semua fihak yang terkait, meliputi; arsitek yang menggambar, pemilik rumah yang
akan membiayai proyek pembangunan rumah tersebut, dan pemborong serta para
tukang yang akan membangun rumah. Tidak boleh ada perbedaan persepsi di antara
fihak-fihak terkait mengenai bagaimana bentuk akhir rumah tersebut berdasarkan
blue print itu. Apabila terjadi perbedaan persepsi di antara fihak fihak
tersebut, pastilah akan terjadi kesalahfahaman dan kekecewaan, terutama di
fihak pemilik rumah yang telah mengeluarkan uang untuk proyek tersebut. (3) TQN disini,
diibaratkan suatu model rumah yang
diharapkan oleh orang yang ingin membuat rumah tersebut.
Jelaslah bahwa kurikulum sangat vital bagi
suatu lembaga Pendidikan dan sangat bertalian erat dengan maksud dan tujuan
para pendiri mendirikan lembaga tersebut
sebagai upaya menciptakan para lulusan yang diinginkannya. Untuk itu menurut S. Nasution (1988: 32)
___________________________________________________________________
3. Arief Furqan, Anatomi Problem Kurikulum Di
PTAI, dalam Artikel Pilihan Ditpertais.net. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Mengingat kurikulum adalah program layanan
pendidikan yang ditawarkan atau 'dijual' kepada masyarakat, maka seharusnya
kurikulum dipandang sebagai jati diri perguruan tinggi yang bersangkutan.
Kurikulum perguruan tinggi harus mencerminkan identitas lembaga tersebut
sebagai perguruan tinggi yang bermutu (melakukan pendidikan, pengembangan
ilmu/penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat). Di samping itu ia harus
mencerminkan misi dan visi perguruan tinggi tersebut sebagai lembaga. Kurikulum
juga harus memberikan gambaran yang jelas tentang lulusan yang ingin dihasilkan
dan bagaimana lembaga pendidikan tersebut akan mewujudkan lulusan yang diharapkan
itu melalui berbagai program studi (jurusan) yang ada di perguruan tinggi
tersebut. Ia juga harus menunjukkan keistimewaan perguruan tinggi tersebut jika
dibandingkan dengan perguruan tinggi sejenis.
langkah
pertama dalam merencanakan kurikulum ialah merumuskan filsafat para pendidik.
Nilai-nilai apakah yang dijunjung tinggi oleh para pendidik atau dosen yang
ingin dipupuk pada anak-anak ( para mahasiswanya). Arah tujuan pendidikan,
corak bahan pelajaran, dan cara-cara untuk mencapainya banyak ditentukan oleh
filsafat si pendidik.
Bagi
IAILM sudah jelas, filsafat dan arah tujuan pendidikannya adalah sebagaimana diterangkan dalam Tanbih Pendiri Pondok
Pesantren Suryalaya ( Syeikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad atau populer
dengan sebutan Abah Sepuh), yang intinya mencetak manusia yang cageur-bageur (budi
utama- jasmani sempurna) dan mampu melaksanakan motto keseimbangan ilmu-amaliah
dan amal-ilmiah. Nilai-nilai Tanbih inilah yang perlu dijunjung tinggi oleh
setiap dosen yang ingin ditanam dan dipupuk kepada para mahasiswanya. Begitu
juga setiap dosen, mahasiswa dan civitas akademika lainnya harus mencontoh
jejak kehidupan Sang Kupu-kupu yang menjadi logo Pondok Pesantren Suryalaya.
Seekor kupu-kupu yang terlihat indah akan selalu hinggap di tempat-tempat yang
indah pula dan menghisap setiap sari madu dari tetumbuhan yang terpilih sebagai
makanannya. Padahal tadinya merupakan seekor ulat yang menjijikkan dan selalu
merusak tanaman. Dengan melalui proses pengasingan diri dan kontemplasi menjadi
kepompong, dalam waktu singkat berubah menjadi seekor kupu-kupu indah dan
menakjubkan serta sangat berguna bagi keberlangsungan makhluk lain. Begitulah
setiap manusia dalam konsep TQN perlu melakukan proses takholli, tahalli, dan
tajalli sebagai upaya mencapai manusia cageur bageur yang mempunyai akhlakul
karimah dalam kehidupannya di dunia dan mencapai tujuan akhirnya yaitu “Ilaahi
anta Maqsudi wa ridhoka mathlubi a’thinii mahabbataka wa ma’rifataka” (Wahai
Tuhanku Engkaulah yang kumaksud dan keridhoan-Mu lah yang kucari, berilah aku
kecintaan dan ma’rifat kepada- Mu). Indikasi seorang yang berhasil melaksanakan
proses pendidikan TQN ini diantaranya berbuah akhlakul karimah yang sangat
diperlukan dalam pergaulan dan perdamaian di era global ini, seperti disebutkan
dalam Tanbih : “…. Berhati-hatilah dalam segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan Agama maupun Negara.
Taatilah kedua-duanya tadi sepantasnya, demikianlah sikap manusia yang tetap
dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap Hadlirat Ilahi
Rabbi yang membuktikan perintah dalam Agama maupun Negara. Insyafillah hai
murid-murid sekalian, janganlah terpaut oleh bujukan nafsu, terpengaruh oleh
godaan syeitan, waspadalah akan jalan penyelewengan terhadap perintah Agama
maupun Negara, agar dapat meneliti diri, kalau-kalau tertarik oleh bisikan
iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita semua. Lebih baik buktikan kebajikan yang timbul dari
kesucian : Pertama, terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada
kita, baik dhahir maupun bathin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup
rukun, saling harga menghargai. Kedua, terhadap sesama yang sederajat
dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan,
sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong-royong dalam melaksanakan
perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan
persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya “Adzabun Alim”, yang berarti
duka-nestapa untuk selama-lamanya dari dunia sampai akherat (badan payah hati
susah). Ketiga, terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita,
janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh,
sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan
gembira hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasehat yang lemah-lembut
yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan. Keempat,
terhadap fakir-miskin, harus kasih-sayang, ramah tamah serta bermanis budi,
bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri
kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan. Oleh karena itu
janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena fakir-miskin
itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kudrat Tuhan…”.
Bahkan
Tanbih sudah siap dan mempunyai sikap jelas dalam menghadapi pluralisme dan
multikultur yang muncul dewasa ini, seperti dikatakan :” Adapun soal keagamaan,
itu terserah agamanya masing-masing, mengingat surat al-Kafirun ayat 6:
“agamamu untuk kamu, agamaku untuk aku”, maksudnya janganlah terjadi perselisihan,
wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga-menghargai, tetapi janganlah
sekali-kali ikut campur. Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita
bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu
pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan
diri pribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri”.
Nilai-nilai
yang ditulis dalam Tanbih ini merupakan nilai nilai sufistik yang menjadi tujuan
akhir proses pendidikan di IAILM. Nilai nilai sufistik ini harus mewarnai corak
bahan kuliah, dan cara-cara untuk mencapainya. Pendidikan TQN tidak cukup hanya
sebatas mata kuliah yang diajarkan selama enam semester dengan pencapaian
silabus tertulis dan nilai ulangan yang baik, akan tetapi perlu direalisasikan
berupa amaliah keseharian dalam setiap unsur yang terlibat di dalamnya secara
mendarah-daging agar mampu melahirkan akhlakul karimah. Upaya internalisasi
nilai-nilai sufistik yang diabadikan dalam Tanbih tersebut secara otomatis merupakan
hasil dari proses pendidikan TQN yang dilaksanakan secara istiqamah dan
berkesinambungan, dengan berpegang teguh kepada tuntunan dan arahan dari
seorang Mursyid.
Menciptakan
manusia yang cageur-bageur diatas bukan merupakan suatu kemustahilan, bahkan
merupakan visi dan misi utama berdirinya IAILM di era global yang sangat
memerlukan figur-figur seperti itu dalam mengatasi berbagai permasalahan
global. Berbagai permasalahan global yang muncul sekarang ini merupakan akibat
ketidak-mampuan sebagian manusia yang seharusnya menjadi khalifah di bumi dalam
melaksanakan tugasnya. Manusia lebih cendrung menuruti hawa nafsunya dan lebih
cendrung menggunakan egonya, bahkan sering melupakan hakekat diri dan Tuhannya.
Akibatnya melupakan tujuan dan hakekat kehidupan yang sebenarnya, dan mencari
alternatif lain yang disangka akan menjadi solusi berbagai permasalahan dalam
hidupnya.Untuk itu, upaya untuk
menyelamatkan manusia dan kehidupannya adalah dengan menyadarkan kembali setiap
manusia akan hakekat diri dan Tuhannya yang menjadi fondasi awal dari maksud
dan tujuan eksistensi manusia di muka bumi. Inilah tantangan semua lembaga
Pendidikan Islam termasuk IAILM dewasa ini dan di masa mendatang untuk ikut
mencari solusi memecahkan berbagai persoalan global, khususnya bagaimana
menciptakan SDM yang unggul dan berakhlakul-karimah sehingga mampu mengemban
misi khalifah Allah di bumi.
Dalam
tradisi TQN upaya penyadaran diri dalam arti menanamkan kesadaran akan hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya ini
disebut dengan Tazkiyatun nafsi atau pembersihan jiwa dari
berbagai penyakit dan kotoran hati. Dengan mengambil salah satu hikmah dari
proses penyadaran diri tersebut itulah hakekat proses terapi metode Inabah,
mampu menyembuhkan kalangan pengguna narkotika dan zat adiktif lainnya serta
berbagai macam penyandang gangguan-gangguan yang bersifat kejiwaan (Anang Syah,
t.t : 3-5)(4).
__________________________________________________________
4. Seseorang
yang terkena pengaruh naza disebabkan ketidakmampuannya dalam menghadapi
realitas kehidupan, sehingga kehilangan arah dalam hidupnya bahkan hilangnya
kesadaran terhadap hakekat diri dan Tuhannya. Untuk itu diperlukan proses
penyadaran dirinya agar mengenal kembali hakekat diri dan Tuhannya. Kurikulum
yang dilaksanakan di Inabah ini tujuannya tidak lain adalah dalam upaya
menyadarkan kembali anak bina melalui proses tazkiyatun-nafsi.
Hasilnya
telah dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Emo Kastama Abdulkadir
(1994:115) bahwa metode Inabah ini cukup efektif dan efisien dalam proses
penyembuhan para pengidap ketergantungan obat-obat terlarang dengan tingkat
keberhasilan mencapai 80% hingga 92%, bahkan memiliki relevansi yang positif
dengan penurunan gejala-gejala keluhan fisik maupun gejala somatisasi. (5) Bahkan lembaga
dunia sekelas PBB telah memberikan penghargaan dan pengakuan kepada penemunya,
yaitu KH.Ahmad Shohibulwafa Tajul ‘Arifin. Sudah pasti penghargaan badan
internasional ini merupakan nilai tambah bagi akreditasi level internasional dan mampu menjadi “trade mark” yang sangat berharga
sebagai upaya IAILM menuju “World University” di masa mendatang. Sudah
dibuktikan sejak lama dengan kedatangan para mahasiswa dari luar negri dan
masih berlangsung sekarang. Walaupun dalam jumlah terbatas mahasiswa dari Luar
Negrinya, tetapi merupakan modal dan motivasi besar untuk melangkah lebih maju
lagi.
Permasalahannya
sekarang adalah maukah atau sejauh mana pihak IAILM mengintegrasikan kurikulum
yang dipakai di Inabah ini dalam kurikulumnya, serta mengimplementasikannya dalam
semua ruang geraknya sebagai upaya mencapai keunggulan-keunggulan yang telah
dibuktikan oleh Pondok Remaja Inabah dalam upaya penyadaran orang-orang yang
kecanduan Naza. Logika terbaliknya “ Orang mabuk yang sudah hilang kesadaran
akan diri dan Tuhannya saja akibat pengaruh Naza bisa disembuhkan dengan
melaksanakan kurikulum Inabah secara istiqamah dan berkelanjutan. Apalagi civitas
akademika termasuk pimpinan, para dosen, karyawan, dan mahasiswa yang tidak ketagihan Naza pasti akan lebih unggul dan lebih baik akhlaknya, kalau
benar-benar mengamalkan kurikulum Inabah ini. Bedanya Anak Bina di Inabah mabuk
dan kecanduan Naza, kalau kita adalah mabuk dan kecanduan hal-hal yang bersifat
duniawi dan cendrung hedonis dalam upaya mempertahankan kehidupan ini yang
berakibat munculnya berbagai permasalahan global seperti disebutkan diatas. Inti
masalahnya sama, yaitu hilangnya akal sehat dan kesadaran akan eksistensi diri
dan Tuhan diakibatkan mabuk dan kecanduan hal-hal duniawi tersebut, sehingga
tidak atau belum melaksanakan perintah Tuhan sebagaimana mestinya.
_____________________________________________________________
5. Baca selengkapnya Haryanto, Hubungan Antara Jangka Waktu
Pembinaan Dengan Penurunan Gejala-gelaja Ketergantungan narkotika di Inabah I
PP.Suryalaya. Yogyakarta: PPs-UGM.1994.
Ada
anggapan bahwa Metode Inabah hanya dikhususkan bagi para pecandu narkotika atau
bagi orang-orang stress, padahal pencetusnya (KH.Ahmad Shohibulwafa Tajul
Arifin atau populer dengan sebutan Abah Anom)
mengatakan diterbitkannya buku ini (Ibadah Sebagai Metoda Pembinaan
Korban Penyalahgunaan Narkotik Dan Kenakalan Remaja) di samping sebagai bekal
ibadah kaum muslimin ikhwan TQN, juga mengandung maksud membantu Pemerintah
Republik Indonesia dalam bidang pembinaan akhlak remaja, terutama mereka yang
menyalahgunakan narkotik dan kenakalan remaja lainnya yang dibina di Pondok
Remaja Inabah Pondok Pesantren Suryalaya.(6) Jelas buku tersebut pada intinya
adalah bekal dan panduan ibadah kaum muslimin ikhwan TQN yang ingin kembali
kepada Allah dan mencari ridha dan ma’rifat kepada-Nya, bukan hanya untuk para
Anak Bina di Inabah.
Mengingat
inti masalah yang sangat krusialnya sama, yaitu hilangnya kesadaran akan
eksistensi diri dan Tuhannya atau mabuk, maka solusi penyembuhannyapun bisa
menggunakan metode yang sama, yaitu Metode Inabah yang telah terbukti tingkat
keefektifannya mencapai 80% hingga 92%. Zaenal Abidin Anwar mengatakan bahwa mabuk
adalah satu kondisi ketika kesadaran manusia terhadap dirinya hilang oleh
berbagai sebab. Salah satu penyebab yang memabukkan manusia selama ini hanya
dipahami dari akibat minuman yang memabukkan (khamar), makanan termasuk
berbentuk obat-obatan, berjudi, mengundi nasib, dan lainnya.Pemahaman ini didasari
ayat Al-Quran surat Al-Maidah: 90 yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Dalam
ayat ini semua perbuatan yang dapat menyebabkan manusia lupa diri (mabuk)
dikatagorikan sebagai perbuatan keji dan termasuk perbuatan syeitan. Artinya
jelas bahwa asal- usulnya perbuatan itu dari Syeitan dimana menjadikan manusia
mabuk dengan tujuan sebagaimana dijelaskan dalam ayat selanjutnya surat Al-
Maidah: 91 yang artinya : “ Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
___________________________________________________________________
6. Abah Anom berpendapat bahwa hakekat pembangunan nasional itu
bukan hanya sekedar mengejar kemajuan lahiriyah dan bathiniyah saja, tapi
sangat diharapkan adanya keseimbangan hubungan antara makhluk dan Kholiknya,
antara manusia dengan manusia, juga antara manusia dengan alam sekitarnya.
Ringkasnya harus ada keseimbangan antara kehidupan di dunia dan di akherat
sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat al-Qashash ayat 7. Menurutnya dalam
rangka mendorong masyarakat pada tujuan tersebut, maka pendidikan rohani baik
melalui ceramah, membaca buku, atau lainnya adalah sangat penting. Tetapi yang
lebih penting lagi tegasnya adalah pelaksanaan ibadah secara intensif, khusyu
serta dawam (langgeng).
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Kesimpulan kedua ayat tersebut adalah bahwa mabuk itu merupakan
kondisi ketidaksadaran manusia yang dapat menimbulkan tiga dampak perbuatan
yang biasa dilakukan oleh syeitan, yaitu:
a.
Menimbulkan
permusuhan dan kebencian diantara sesama manusia,
b.
Menghalangi
manusia dari dzikir yaitu mengingat Allah, bahkan sampai tidak disadari keberadaan Tuhannya,
c.
sehingga
manusia lupa untuk melakukan ibadah seperti melaksanakan shalat sebagai suatu
kewajiban yang harus dilaksanakan.
Dari
gambaran diatas dijelaskan mabuk yang menjadikan hilangnya kesadaran manusia
secara fisik akan berdampak secara psikis.Bahkan makna mabuk bisa ditafsirkan
segala sesuatu yang menyebabkan hilangnya kesadaran manusia dan menjadikan
manusia lupa kepada Allah. Lebih jauh
dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 43 dikatakan :“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”
Dalam
Ayat ini dengan kata kuncinya hatta ta’lamu ma taqulun menjelaskan
pengertian mabuk lain bahkan merupakan mabuk yang fundamental, yaitu dasar dari
segala dasar mabuk, lebih bersifat psikis dan tidak disebabkan oleh khamr,
maisir, dan obat-obatan tetapi tidak disadari kondisinya oleh manusia yang
telah terkena jenis mabuk ini. Kata kunci hatta ta’lamu ma taqulun artinya
: sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, disimpan setelah kata sukara
adalah menggambarkan suatu kondisi sadar atau pulih setelah kondisi tidak sadar
yaitu mabuk (sukara). Dari bentuk kalimat ini dapat ditarik satu
pemahaman secara tersirat (mafhum) tentang mabuk sebagai kondisi dimana manusia
tidak menyadari lagi terhadap apa yang ia katakan, padahal manusianya secara
fisik boleh jadi dalam keadaan sehat tidak habis minum khamr atau makan
obat. Mabuk jenis inilah yang sedang merajarela dimana-mana dan sulit
mengobatinya akibat tidak disadari oleh manusia yang mengalaminya. Akibatnya
berbagai permasalahan global yang timbul dewasa ini adalah akibat dan ulah
manusia itu sendiri. Banyak manusia mabuk disebabkan harta, keluarga, jabatan
atau pangkat, sehingga hilang pertimbangan akal sehat dan kesadaran atas
eksistensi diri dan Tuhannya. Akibatnya
manusia tersebut tidak menyadari kondisi yang terjadi kepadanya bahkan tidak
mengerti apa yang diucapkannya sendiri. Sehingga menjadikan sikap mentalnya
selalu bertentangan antara yang dikatakan dan apa yang ada dalam hatinya alias
munafik. (Zaenal Abidin Anwar,t.t:111) .
Dalam TQN proses
penyadaran diri dalam arti menanamkan kesadaran akan hubungan seorang hamba
dengan Tuhannya diistilahkan dengan tazkiyatun-nafsi atau pembersihan
jiwa dari penyakit-penyakit atau kotoran hati. Para sufi berpendapat bahwa
lupanya seorang hamba kepada Tuhannya diakibatkan hamba tersebut diselimuti
oleh berbagai penyakit atau kotoran hati.Objek penyakit atau kotoran hati yang harus dibersihkan itu
antaranya: kikir (al-bukhl), ambisius
(al-hirsh), iri hati (al-hasad), bodoh (al-jahl), hedonistik (al-syahwat),
besar kepala (al-kibr), suka pamer (al-riya), dan lainnya. Metode
pembersihannya adalah dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak
ibadah kepada-Nya, dan mengisi sebanyak mungkin alam kesadaran manusia dengan
nama Allah (dzikrullah), serta menjauhkan diri dari dorongan dan kecendrungan
jiwa rendah, yaitu nafsu ammarah dan nafsu lawwamah. (Zaenal Abidin Anwar,t.t:47).
Di Inabah berbagai proses diatas, sejak mandi taubat, talqin dzikir, dzikir,
berbagai shalat baik wajib maupun sunat, Qiyamul lail, puasa, dan berbagai doa
(adab tatakrama) sudah dilaksanakan dan menjadi amaliah harian yang harus
dilaksanakan setiap anak Bina sebagai upaya pembersihan jiwa agar mampu mengenal diri dan Tuhannya.
Kemampuan mengenal
diri disini tidak sebatas mengetahui berbagai potensi diri seperti the self
determining being, sebagaimana pandangan Eksistensial-Humanistik. Karena
boleh jadi pengetahuan semacam itu malah justru mendorongnya untuk
mengaktualisasikan potensinya itu di luar batas kewajaran. Maksud mengenal diri
disini adalah dalam konteks keilahian dan dalam koredor penyerahan diri secara
total hanya kepada Allah semata. Demikian juga mengenal Tuhan (ma’rifat),
tidak sebatas pengakuan secara lisan saja tanpa disertai tindakan nyata (tauhid
rububiyyah). Dalam perspektif sufi, tauhid semacam ini belum menghasilkan
nilai plus, kecuali bila sudah disertai dengan kepatuhan dan ketaatan
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta penyerahan diri
secara total hanya kepada Allah semata (tauhid uluhiyyah).
Untuk itu
melaksanakan kurikulum Inabah yang terdiri dari mandi taubat, shalat, dzikir
(yang ditalqinkan) sangat penting dalam menggugah dan menyadarkan setiap
manusia agar mengetahui eksistensi diri, fungsi, tugas, dan tanggung-jawabnya
sebagai khalifah di bumi. Juga sebagai bimbingan yang mengarahkan manusia untuk
menemukan konsep diri (self consept) dan pemahaman diri (self insight)
secara benar (Zaenal Abidin Anwar, t.t:16). Ini semua tidak akan mampu
didapatkan di kampus melalui pemberian materi-materi tentang tasawuf secara
verbal, akan tetapi perlu pelaksanaan dan pelatihan (riyadhah) yang
terarah dan mudawamah sebagai upaya memperkaya pengalaman bathin setiap mahasiswa. Nilai
inilah yang sebenarnya tidak ada di
berbagai perguruan tinggi lain dan yang membedakan IAILM dengan perguruan
tinggi lainnya, yang harus dijadikan
icon utama IAILM.
Implementasi Nilai-nilai Sufistik dalam kurikulum IAILM
Bagaimana dan apa yang harus dilakukan dalam upaya
mengimplementasikan nilai-nilai sufistik dalam kurikulum IAILM ? Sebagai
Perguruan Tinggi yang diharapkan menjadi Pusat kajian Tasawuf khususnya TQN,
maka pedoman dalam merancang kurikulumnya harus berpegang teguh kepada Tanbih
Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya dan Kitab Miftahus-shudur yang menjadi
sumber rujukan utamanya serta pedoman ibadah yang biasa dilakukan di Inabah..
Langkah berikutnya adalah
merevisi kembali Anatomi Kurikulum IAILM
sebagai upaya mengimplementasikan nilai-nilai sufistik diatas, dengan
mengadopsi pendapat Arief Furqan (7) yang
menjelaskan bahwa anatomi suatu kurikulum
di suatu Perguruan Tinggi itu setidaknya harus memuat sebelas informasi secara jelas.
Kesebelas informasi dalam kontek IAILM yang ingin lebih mengimplementasikan
nilai-nilai sufistik itu adalah mencakup :
- Misi IAILM. Misi adalah alasan mengapa atau untuk apa IAILM didirikan. Misalnya, untuk IAILM, misinya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya ikhwan TQN akan ahli agama yang mampu menerjemahkan ajaran agama melalui metode TQN dalam kehidupan modern ini. Misi ini harus juga mencerminkan ciri khas perguruan tinggi yaitu tri dharma: pendidikan, penelitian (pengembangan ilmu), dan pengabdian kepada masyarakat (pengamalan ilmu).
- Visi ke depan IAILM. Visi ini merupakan gambaran masa depan yang diinginkan terjadi pada IAILM sebagai antisipasi terjadinya perubahan zaman di masa depan. Misalnya, IAILM mempunyai visi (cita-cita) untuk menjadi pusat kajian tasawuf dunia. Visi ini berguna sebagai pendorong semangat juang civitas akademikanya untuk meningkatkan mutu mereka sehingga menjadi seperti yang mereka cita-citakan.
3.
Tujuan kurikuler. Bagian ini hanya mencakup
satu aspek saja dari misi perguruan tinggi, yaitu bidang pendidikan. Mengingat
kurikulum adalah rencana pendidikan yang akan diberikan kepada mahasiswa untuk
menghasilkan lulusan (sarjana) sesuai dengan yang dicita-citakan, maka tujuan
kurikuler ini harus secara eksplisit menyebutkan lulusan yang bagaimana yang
diharapkan akan dihasilkan oleh perguruan tinggi itu. Tentunya ada ciri-ciri
dasar yang sama bagi setiap lulusan perguruan tinggi tersebut di samping
ciri-ciri khusus yang merupakan kekhasan jurusan atau program studi tertentu.
Untuk IAILM setiap lulusannya, baik dari fakultas Tarbiyah, Syariah, maupun
Dakwah diharapkan mampu
menguasai tentang tasawuf, khususnya TQN dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan pribadinya.
- Profil lulusan. Karena tujuan kurikuler biasanya bersifat umum, maka diperlukan suatu gambaran atau profil lulusan yang lebih kongkrit dan terukur. Profil ini harus menggambarkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan apa yang akan dapat dimiliki atau dilakukan oleh lulusan setelah mereka mengikuti program pendidikan di perguruan tinggi tersebut. Misalnya, setiap lulusan IAILM mampu membaca dan memahami kitab Miftahus-shudur dan memimpin amaliah harian dan khotaman. secara lancar, dan memiliki akhlaq mulia sebagaimana dijelaskan dengan lengkap dalam Tanbih Syeihk Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a..
_________________________________________________________________
7.Menurut Arief Furqan bahwa setiap
UIN/IAIN/STAIN diberi kesempatan untuk menonjolkan "keistimewaannya"
melalui kurikulum lokal yang jumlahnya cukup besar (40% dari 144 sks atau
sebesar 57 sks, bahkan ke depan prosentase itu akan lebih besar lagi). Termasuk
bagi IAILM merupakan kesempatan dalam upaya mengimplementasikan nilai-nilai
tasawufnya dalam kurikulum yang akan terus menjadi ciri khasnya. Implementasi
ini bukan sekedar berbentuk materi mata kuliah, tetapi juga pengamalan berbagai
ibadah dan riyadhah yang sudah baku dalam TQN dengan dibantu oleh penciptaan
situasi dan kondisi yang kondusif dari semua civitas akademikanya. Lalu dibuat
buku pedoman pelaksanaanya secara jelas agar tidak menimbulkan persoalan baru. Yakni belum dapat menjamin
adanya kesamaan persepsi bagi semua fihak dalam civitas akademika (pimpinan,
dosen, dan mahasiswa). Tidak terjaminnya kesamaan persepsi ini dikhawatirkan
akan mengganggu pencapaian tujuan kurikuler yang telah ditetapkan, serta
pelaksanaan misi IAILM yang mulia.
Disinilah perlunya keterlibatan semua fihak dalam mengakomodirnya.Secara
lengkapnya lihat Arief Furqan dalam Anatomi Problem Kurikulum Di PTAI dalam
artikel Pilihan Ditpertais.net.
- Pendekatan yang diambil dalam proses pendidikan. Ini menyangkut filsafat pendidikan yang berbasiskan TQN, seperti dengan pendekatan pelaksanaan metode Inabah dalam amaliah ibadah harian, dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai tasawuf dalam setiap diri mahasiswa, dengan mengemas Pesantren Sarjana sebagai waktu untuk riyadhah dengan amaliah metode Inabah dengan jeda waktu yang lebih maksimal sebagaimana pernah dilakukan periode kepemimpinan Rektor Pertama (Oepa Suparya Adimaja) dengan bimbingan dosen (Ahdi Nuruddin) melaksanakan Pendalaman Ilmu Agama selama 40 hari. Bekasnya akan semakin dalam dan berkesan dalam upaya melatih diri setiap mahasiswa secara utuh dengan mengamalkan secara langsung amaliah TQN.
- Aspek kepribadian mahasiswa yang dikembangkan. Misalnya aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik serta bagaimana cara mengembangkannya. Aspek ini perlu secara khusus dijelaskan sebagai rincian apa yang telah dijelaskan dalam Tanbih,agar semakin jelas bagi semua fihak yang terlibat dan akan semakin mudah dalam mewujudkan cita-cita pendidikannya (menghasilkan lulusan yang cageur-bageur, bermutu dan berguna bagi masyarakat).
- Program studi yang dikembangkan di perguruan tinggi tersebut. Program studi inilah sebenarnya yang diambil oleh setiap mahasiswa. Dalam hal ini harus diberikan deskripsi singkat tentang tiap-tiap program studi yang ada., termasuk ciri khas IAILM dengan tasawufnya. Untuk setiap program studi perlu diberikan tujuan kurikuler serta profil lulusannya. Tujuan kurikuler dan profil lulusan jurusan/program studi ini harus selaras dengan tujuan kurikuler dan profil lulusan perguruan tinggi yang bersangkutan yang telah ditetapkan di muka.
- Daftar mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa untuk mewujudkan profil lulusan seperti itu. Dalam daftar matakuliah ini perlu ditunjukkan fungsi tiap-tiap mata kuliah dalam upaya mewujudkan profil lulusan sehingga tampak keterkaitan satu mata kuliah dengan mata kuliah lainnya. Perlu diingat bahwa materi matakuliah hanyalah sarana sedang yang dikembangkan adalah pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan ketrampilan mahasiswa agar dapat menjadi sosok lulusan seperti yang diidam-idamkan dalam profil lulusan. Keberhasilan suatu matakuliah diukur berdasarkan keberhasilan mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai-nilai, serta ketrampilan yang diniatkan dikembangkan melalui matakuliah itu pada diri mereka sendiri.
- Deskripsi mata kuliah yang akan diberikan. Deskripsi ini diperlukan guna membantu mahasiswa mengetahui apa yang akan mereka peroleh dan tujuan apa yang akan mereka capai kalau mengikuti mata kuliah tersebut. Deskripsi ini juga akan membantu dosen yang akan mengampu mata kuliah tersebut.
- Sistem evaluasi yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut yang menjelaskan bagaimana mereka akan mengukur keberhasilan mahasiswa dalam mencapai tujuan kurikuler maupun tujuan matakuliah.
- Sistem perkuliahan yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut. Misalnya apakah menganut sistem sks ataukah tidak, apakah mahasiswa diperbolehkan mengambil matakuliah sejenis lintas jurusan ataukah tidak, apakah ada program remedial bagi mahasiswa yang memerlukan, apakah ada program perbaikan nilai bagi mahasiswa yang menginginkannya, dsb.
Idealnya nilai-nilai sufistik ini diimplementasikan secara terintegrasi
dengan semua mata kuliah yang diajarkan di IAILM, dengan harapan mampu
menghasilkan lulusan yang maksimal, dalam arti menguasai program studi yang
diambilnya ditambah penguasaan khusus bidang tasawuf yang menjadi ciri khasnya,
serta mampu mengamalkannya dalam realitas kehidupan sehari-harinya. Sebagai
langkah awal dengan bentuk Mata kuliah lokalpun yang diberikan sampai 6
semester, kalau dilaksanakan secara terencana dan komitmen tinggi pasti akan
mempengaruhi profil lulusannya. Dengan catatan adanya latihan atau riyadhah
yang langsung diamalkan oleh mahasiswa yang bersangkutan, dengan dorongan
berupa contoh langsung dan penciptaan kondisi maksimal untuk mengamalkannya
oleh seluruh civitas akademika. Masih banyak yang perlu dipersiapkan dalam
mengimplementasikan nilai-nilai sufistik ke dalam kurikulum di IAILM ini,
termasuk membuat batasan-batasan keilmuan tiap jenjangnya dan membuat
indikator-indikator keberhasilannya agar memudahkan dalam evaluasi setiap
jenjangnya. Idealnya perlu dibentuk gugus kendali mutu dalam menjaga kualitas
dan kontinuitas implementasinya sebagai icon keunggulan di masa datang dalam
membantu mengatasi berbagai masalah global, khususnya menciptakan SDM yang
berakhlakul-karimah. (Pernah dimuat dalam Jurnal latifah IAILM vol. 1).
Daftar
kepustakaan
1.
Ahmad
Sanusi, Mengurai Benang kusutMajalah Nusantara Education Review, diterbitkan
oleh Uninus Bandung, volume : 2, tahun 2008
2.
Ajid
Thohir, Penjaminan Mutu PT Melalui Akreditasi, makalah yang disampaikan dalam
Sosialisasi SPM-PT di IAILM, 16 Januari 2009.
3.
Azyumardi
Azra , IAIN Di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi, dalam
Artikel Pilihan Ditpertais.net. Dikunjungi pada tanggal 22 Nopember 2008.
4.
Arief Furqan, Anatomi Problem Kurikulum Di PTAI,
dalam Artikel Pilihan Ditpertais.net.
Dikunjungi pada tanggal 22 Nopember 2008.
5.
Anang
Syah, Proses Penyadaran dan pembinaan Korban Penyalahgunaan Narkotika melalui
Ajaran Agama Islam Pendekatan Ilahiyah Dengan methode Tasawuf Islam ; thariqat
Qodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya di Pondok Inabah I Ciamis,Pondok
Inabah I Ciamis
6.
Elizabeth
K.Notingham, Agama dan Masyarakat, Pengantar Sosiologi Agama, PT>Raja
Grafindo Persada Jakarta, 1993.
7.
Harun
Nasution, Thariqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah, Sejarah, Asal-usul, dan
Perkembangannya, Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Tasikmalaya,
1990.
8.
S.
Nasution, Asas-asas Kurikulum, Penerbit Jemmars Bandung, 1988.
9.
Said Aqil Siraj, Pendidikan Sufistik di Era Multikultur, Kompas cyber
media,21 juni 2002.
10.
Zaenal
Abidin Anwar, Serba Serbi Penaggulangan Bahaya Dadah di Pondok Pesantren
Suryalaya ( kumpulan makalah), Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.
Comments
Post a Comment